Tuesday, February 23, 2010

KISAH SEORANG YANG PANTANG MENYERAH

Page copy protected against web site content infringement by Copyscape
Cerpen ini adalah sebuah cerita fiksi

Pagi-pagi sekali, seperti biasa Prapdi berangkat sekolah bersama kakak perempuannya, Parti. Sebelum berangkat, mereka berpamitan kepada ayah dan ibu mereka. Ayah Prapdi, Pak Prapto adalah seorang loper Koran di jalanan. Sedangkan Bu Prapto berjualan berbagai jenis peralatan dapur tradisional di rumahnya yang tidak jauh dari jalan besar. Rumah mereka itu kecil dan sempit, tapi rumah itu sudah melindungi keluarga Pak Prapto selama 15 tahun.

Prapdi yang masih duduk di bangku SMP itu berjalan menjauhi rumah bersama kakaknya. Mereka berpisah di persimpangan jalan, karena sekolah mereka berbeda. “Dadah kak! Nanti pulang sekolah aku akan membantu ayah berjualan koran!” teriak Prapto kepada kakaknya dari kejauhan. Kakaknya membalas perkataan adiknya itu, “ya! Aku akan membantu ibu nanti!” Merekapun meneruskan perjalanan tanpa tahu bahwa mereka akan kehilangan sesuatu yang sudah menyimpan kenangan mereka selama bertahun-tahun.

Di sekolah Prapdi adalah anak yang rajin dan selalu menjadi juara kelas. Ia bercita-cita untuk menjadi seorang presiden dan membuat kedua orangtuanya bahagia. Walaupun cita-citanya agak berlebihan, tapi ia percaya bahwa jika ia mau berusaha dan selalu berdoa, semuanya mungkin. KRIIIIING…, bel pulang sekolahpun berbunyi. Prapdi membereskan bukunya dan segera pulang untuk membantu ayahnya. Ia membawa tasnya dan berlari keluar kelas menuju lapangan depan. Tiba-tiba seorang tetangganya, Mbak Surti berlari menghampirinya. Mbak Surti hendak mengatakan sesuatu, tapi karena nafasnya yang tersenggal-senggal, Prapdi tidak dapat mendengar apa yang ia katakan.

“Hah…hah…hah…Prap…di… itu! Itu! Orang tua! Hah…hah…”, kata Mbak Surti dengan nafas yang benar-benar tersenggal-senggal. Terang saja, Mbak Surti berlari dari rumah Prapdi ke sekolah Prapdi yang jaraknya kurang lebih 3 kilometer. Melihat wajah Mbak Surti yang menegangkan, Prapdi mulai kebingungan dan muncul kekhawatiran di dalam hatinya. “Mbak, mbak, ada apa? Tenang dulu… lalu katakan pelan-pelan!” kata Prapdi kepada Mbak Surti sambil mencoba menenangkan Mbak Surti. “Nggak bisa. Cepet kamu… hah… lari ke rumahmu… rumahmu… di… gusur… ada banyak petugas berbaju aneh di sana… hah…”, terang Mbak Surti yang nafasnya masih tersenggal-senggal.

“Hm? Pakaian aneh? Gusur? Rumahku!!!” teriak Prapdi yang baru tersadar bahwa rumahnya digusur oleh petugas satpol PP. Ia segera berlari menuju rumahnya tanpa mempedulikan Mbak Surti. Ia berlari dengan pikiran yang terguncang. “Ayah, Ibu, Kakak, apa kalian tidak apa-apa? Bagaimana ini, rumah kami satu-satunya… apa yang harus kulakukan? Mengapa ini harus terjadi? Mengapa orang-orang itu kejam sekali?”, pikir Prapdi. 20 menit kemudian Prapdi sampai di rumahnya. Ia mendapati ibu dan kakaknya menangis tersedu-sedu sambil terduduk di teras, sedangkan ayahnya yang tidak kuasa melawan para satpol PP. Ayahnya dipukuli dan dikata-katai oleh para petugas yang sangat kasar itu.

Melihat ayahnya tersiksa, Prapdi mencari-cari batu dan melemparkannya ke arah para petugas. Salah seorang petugas terkena di bagian kepalanya. Darah segarpun mengucur dari kepala petugas itu. Petugas itu langsung pingsan dan ambruk di tengah kerumunan. Sebenarnya penggusuran tidak hanya dilakukan pada rumah Pak Prapto saja, tetapi seluruh rumah di kampung itu. Jadi, seluruh warga mencoba melawan para petugas yang membongkar rumah mereka dengan alat seadanya. Tapi, karena jumlah petugas yang cukup banyak dan alat berat yang mereka bawa, mereka dapat dengan mudah menangani para warga yang mengamuk.

Petugas yang terkena batu Prapdi tadi pingsan di kerumunan itu dan tidak terurus. Tubuhnya terinjak-injak oleh kerumunan petugas dan warga yang sedang bertikai. Petugas itu meninggal di tempat dan menjadi salah seorang korban di hari penggusuran itu. Prapdi tahu ia telah menyebabkan seseorang kehilangan nyawanya. Ia semakin mendapat beban mental yang kuat. Ia berlari menuju ibu dan kakaknya lalu memeluk mereka. Ia meminta maaf pada Tuhan. Mereka bertiga menangis dan pasrah. Lama kelamaan para warga yang memberontak juga sudah pasrah. Mereka tidak dapat melakukan apa-apa. Setelah semua rumah dibongkar, pemimpin satpol PP itu memberikan penjelasan kepada para warga.

“Para warga sekalian, kami telah menginformasikan hal ini sejak 2 bulan yang lalu. Kami sudah menyediakan tempat untuk anda semua di daerah Kampung Pecinan. Tapi, kami memang sudah menghimbau bahwa tempat di sana juga terbatas. Jika anda tidak pindah secepatnya, bisa-bisa anda tidak kebagian tempat atau mendapat tempat yang sempit dan kumuh. Alasan kami membongkar kampung ini karena di atas tanah ini akan dibangun sebuah panti rehabilitasi cacat korban gempa milik pemerintah. Selain itu, untuk modal para warga sendiri, dari pemerintah kabupaten kota sebesar Rp 16.500,00. Uang dapat diambil di ketua RW. Terima kasih dan selamat malam!”

Semua warga hanya pasrah. Semua berjalan menuju Kampung Pecinan. Barang-barang mereka sudah diangkut semua ke Kampung Pecinan. Mereka berjalan bersama menyusuri jalan besar yang begitu ramai dengan angin dingin yang menusuk. Keluarga Prapto berjalan sambil saling memegang tangan. Sepanjang jalan mereka terus berdoa kepada Tuhan, berharap mendapat jalan terang. Tepat jam 1 dini hari, rombongan sampai di Kampung Pecinan. Mereka harus mencari barang-barang mereka, karena petugas meletakkan barang-barang mereka secara acak. Semua warga gotong royong membereskan barang-barang. Mereka juga harus membangun tenda karena di tempat itu hanya sebuah lapangan kosong yang luas.

Prapdi yang melihat dan mengalami kejadian itupun berpikir bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah adalah salah. Sejak saat itu, tekadnya untuk menjadi presiden semakin kuat. Kedua orang tuanya sangat mendukung cita-cita anak mereka itu. Pak Prapto dan Bu Prapto berusaha sebisa mungkin untuk menyekolahkan kedua anaknya setinggi mungkin. Sejak pindah ke Pecinan, Pak Prapto beralih profesi sebagai seorang penjahit keliling dan Bu Prapto menjadi tukang jamu keliling. Tiap pulang sekolah, Prapdi dan kakaknya juga membantu pekerjaan orang tua mereka.

Lima tahun sudah berjalan, tanpa terasa Prapdi sudah duduk di bangku kuliah semester pertama. Karena ketekunannya dan kepandaiannya, ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah di Jepang. Sedangkan kakak Prapdi tidak melanjutkan sekolah. Ia berhenti sekolah dan membantu ibunya berjualan jamu. Prapdi berangkat ke Jepang disertai senyum hangat dari keluarganya. Ia sekolah di Jepang mengambil jurusan politik. Ia menyelesaikan S2nya di sana. Selain sekolah, Prapdi juga kerja paruh waktu di sebuah restoran sushi. Gaji yang ia terima sebagian besar selalu ia kirim ke orang tuanya. Ia hanya mengambil sedikit untuk kebutuhannya selama tinggal di sana.

Akhirnya sudah saat nya Prapdi pulang ke Indonesia. Ia membawa banyak oleh-oleh untuk keluarganya. Saat ia sampai di Indonesia, ia disambut oleh kedua orang tuanya. Ia pulang ke Pecinan dan mendapati kakaknya yang terbaring sakit di tempat tidur. Ternyata selama ia pergi, kakaknya bekerja di sebuah klub malam dan tertular penyakit HIV Aids. Uang yang selama ini dikirim digunakan untuk pengobatan kakaknya. Prapdi sangat terpukul, tapi ia pantang menyerah. Ia mulai mencari pekerjaan. Ia diterima di sebuah perusahaan swasta. Karena kinerjanya yang sangat baik, dalam 2 bulan ia sudah menduduki kursi manager. Sekarang ia bisa membeli sebuah rumah dan membiayai perawatan kakaknya di rumah sakit.

Ia mulai mencoba mengikuti sebuah partai. Ia bekerja sebaik mungkin di semua bidang. Akhirnya ia menjadi ketua umum partai itu. Hidupnya sekarang dilimpahi harta. Waktu terus berjalan dan nasib baik memihak padanya. Suatu saat ia terpilih menjadi presiden. Setelah duduk di kursi presiden, ia teringat akan pengalamannya dulu. Ia sangat membenci korupsi dan selalu memantau kinerja bawahannya. Ia juga rutin membagikan harta-hartanya kepada kaum papa. Tidak lupa ia juga selalu membuat kedua orang tuanya bangga dan bahagia. Suatu saat kakaknya meninggal. Ia cukup terpukul atas kepergian kakaknya itu. Tapi, hal itu tidak membuatnya patah semangat. Ia terus berusaha dan tidak lupa berdoa. Ia menjadi seorang presiden yang cakap dalam memimpin dan disegani oleh rakyatnya.

TAMAT

by Primavera

0 comments:

Post a Comment

 
Powered by Blogger